Jumat, 11 November 2016

KEBUDAYAAN MASYARAKAT OSING DALAM KESENIAN MOCOAN PACUL GOWANG BANYUWANGI


Description: Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEijr21py1ogxQFb9bGBEXH2KawFYjdX78dd3v0K_ltJIBRvZym_ylTAO_WhSa9rTDZyI4d3qJMEhPwFyjSXp4nNZqFSPTXzg0xS26zUPlInyiEKEmu9qnK4WZobLSeOdUO8UUqAaPlS5BQ/s1600/uNEJ+lOGO+copy.png





KEBUDAYAAN MASYARAKAT OSING DALAM KESENIAN MOCOAN PACUL GOWANG BANYUWANGI



MAKALAH



Makalah diajukan guna melengkapi tugas dalam mata kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia dan memenuhi salah syarat untuk menyelesaikan Ujian Akhir Semester IV (UAS)





Oleh

ANDITYAWARMAN DWI PUTRA

140110301045





JURUSAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS JEMBER

2016



KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah Swt. atas segala rahmat dan karunia-Nya dapat menyelesaikan tugas “Sejarah Kebudayaan Indonesia“yang berjudul : “Kebudayaan Masyarakat Osing dalam Kesenian Mocoan Pacul Gowang Banyuwangi.’
Kesesnia atau tradisi yang membaca Lontaran Yusuf yang berisi tentang riwayat kehidupan Nabi Yusuf mulai sejak kecil hingga dewasa yang bertahta ditanah Mesir. Asal-usul kesenian atau tradisi mocoan lontar pada masyarakat Osing di kabuapten Banyuwangi tidak diketahui dengan pasti namun yang jelas sejak para wali menyebarkan Agama Islam di Banyuwangi sekitar abad ke-XVIII (18) yang merupakan sarana berdoa kepada Tuhan dengan harapan agar kehidupan seperti Nabi Yusuf yang baik, bukan hanya sebagai alat untuk menyebarkan ajaran agama Islam seiring dengan waktu Mocoan Lontar menjadi sautu kesenian dalam kehidupan masyarakat Osing yang sarat akan makna.
Penulis sudah berusaha menyusun tugas kuliah ini sebaik mungkin, akan tetapi penulis menyadari kesalahan dan keaflaan, Tugas ini masih jauh dari kesempurnaan.
Namun, berkat arahan, bimbingan, dan bantuan dari segala pihak sehingga tugas ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi arahan dan bimbingan.
Semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, dan bagi pembaca umumnya

                                                                                                            Jember, 28 Mei 2016

                                                                                                                        Penulis



DAFTAR ISI

Halaman



BAB 1. PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang

kebudayaan adalah keseluruhan ide-ide, tindakan, dan hasil karya manusia yang suatu proses hubungan manusia dengan alam dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah. Kebudayaan itu sendiri mempunyai unsur unsur yang bersifat universal. Usnsur-usnur Kebudayaan itu terdiri dari Ketujuh Unsur kebudayaan, yaitu Religi, Bahasa, Kesenian, Kemasyarakatan atau Organisasi Sosial, Mata Pencaharian, Pengetahuan, dan Teknologi. Berdasarkan ketujuan unsur Kebudayaan tersebut dalam penulisan makalah ini akan lebih membahas yang berkaitan denagn kesenian. Kesenian merupakan sarana yang digunakan untuk mengekspresikan rasa keindahan dari dalam jiwa manusia.
Secara teoritis wilayah  Provensi Jawa Timut dibagi dalam sepuluh Wilayah Kebuayaan tentu saja dari kesepuluh kebudayaan memilik wilayah yang berbeda-beda dan setiap kebudayaan memiliki keunikan tersendiri. Sepuluh Wilayah Kebudayan tersebut , yaitu Jawa Mataram, Jawa Panaragan, Arek, Samin (sedulur sikep), Tengger, Osing(Using), Padhalungan, Madura PUlau, Madura Bawen, dan Madura Kangean.
      Berdasarkan Sepuluh Wilayah Kebudayan tersebut dalam Penulisan tugas Sejarah Kebudataan Indonesia akan lebih membahasan tentang kebudayaan Osing(Using). Kebudayaan Masyrakat Osing yang tinggal di Kabupaten Banyuwangi sebagai masyarakat Using sangat kuat dalam memegang tradisi dan masyarakat Using dikenal dengan masyarakat yang kaya akan kebudayaan kesenian khas Banyuwangi seperti gandrung, aljin, angklung caruk, kendang kempul dan seni drama khas Banyuwangi yang disebut janger Banyuwangi (damarwulan). Hal menjadi pembahasan mendalam dalam mengungkapkan Khas Kebudayaan Masyarakat Osing yang bedasarkan kebudayaan yang ada lebih tertujuh pada Ksesnian Mocoan Pacul Gowang.

1.1.1        Rumusan Masalah

Perumusan Masalah pada makalah ini untuk memberi arahan dalam kegiatan pembuatan makalah yang dilakukan akan dipaparkan berdasarkan hal-hal yang akan menjadi pembahasan dari Kesinian Mocoan Pacul Gowang Pertanyaan yang hendak dikaji dalam Makalah ini adalah:
1.Bagaiman Sejarah Kebudayaan Osing ?
2.Bagimana Gambaran dan Perkembangan Tentang Kesenian Mocoan Pacul Gowang?

1.2 Tujuan

                Tujuan dalam penulisan makalah ini sebagai tugas dalam Mata Kuliah Semester IV, yaitu Sejarah Kebudayaan Indonesia, sekaligus sebagai penerapan dalam ilmu mata kuliah terrsebut yang bukan hanya menganai teori dalam sautu kebudayaan yang membahas menganai Tujuh Unsur dalam suatu Kebudayaan. Namun dengan adanya suatu penerapan dalam mata kuliah ini agar bertujuan untuk memahami dan bertujuan menambah pemahaman yang lebih mendalam tentang unsur-unsur kebudayaan dalam sautu masyarakat yang terutama berkaitan dengan Kebudayaan Masyarakat Osing secara mendalam terhadap Kesenian Mocoan Pacul Gowang (seni membaca naskah lontar berbahasa jawa kuno dan jawa pertengahan berisi riwayat Nabi Yusuf).
            Tujuan penulisan Makalah ini bukan hanya memberi pemahaman secara mendalam tentang Kesenian Mocoan Pacul Gowang bagi si penulis, tetapi juga bertujuan untuk memberikan sautu sumbangan Ilmu Pengetahuan yang membahas menganai Kebudayaan Osing bagi pihak-pihak yang nantiknya membutuhkan tulisan ini sebagai bahan yang dibaca untuk memperoleh gambaran terhadap Kesenian Mocoan Pacul Gowang yang sangat berkaitan erat dengan masyarakat Osing yang menciptakan Kesenian tersebut yang hal ini memberikan sautu penjelasan terdapat karakteristik masyarakat Osing dari adanya Kesenian Mocoan Pacul Gowang.

1.2   Manfaat

Dalam penulisan makalah sudah barang tentu sekecil apa pun ada harapan manfaatnya yang dapat diambil dalam isi pembahasan makalah ini. Adapun manfaatnya dalam penulisan makalah ini sebagai berikut: Memberikan tambahan Ilmu Pengathuan bagi sipenulis yang terutama tentang wawasan Sejarah Kebudayaan Indonesia. Dapat menambah Khasanah Ilmu pengetahuan tentang Kebudayaan Osing dan nilai-nlai moral yang terkandung dalam kebudayaan tersebut. Bagi Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas jember akan meberikan suatu tambahan wawasan bagi Mahasiswa dan Dosen bila membaca penulisan makalah ini. Bagi Pemerintahan Kabupaten Banyuwangi dan Badan Pariwisata Banyuwangi berserta pada Seniman Mocoan Pacul Gowang dan Masyarakat Desa Kemiren, kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi dari penulisan makalah dapat memberikan manfaat dalam upaya melestarikan dan mengembangkan Kesenian Mocoan Pacul Gowang bagi generasi yang akan mendatang.

BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Kebudyaan Osing dari Kabupaten Banyuwangi

Kebudayaan Osing tidak akan lepas dengan suatu subyek yang menghasilkan kebudayaan iitu sendiri adalah orang Osing yang mendiami Kabupaten Banyuwangi sebagai pelaku yang memiliki kebudayaan itu pasti hal ini memiliki sejarah tersediri yang diawali dengan sejarah Orang Osing yang awalnya menetap ditanah Banyuwangi. Sejarah suku Osing diawali pada akhir masa kekuasaan Majapahit sekitar tahun 1478 M. Setelah kejatuhannya, orang-orang Majapahit mengungsi ke beberapa tempat, yaitu lereng Gunung Bromo (Suku Tengger), Blambangan (Suku Osing) dan Bali. Kerajaan Blambangan, yang didirikan oleh masyarakat Osing, adalah kerajaan terakhir yang bercorak Hindu yang sangat berkaitann denagn Kerajaan Blambangan.
Sejarah berdirinya Kabupaten Banyuwangi tak bisa lepas dari Kerajaan Blambangan karena Blambangan awal mulal dari adanya Banyuwangi itu sendiri. Bahkan Blambangan merupakan kerajaan yang paling lama bertahan terhadap serangan Kerajaan Mataram dan VOC. Bukan hanya keindahan alam yang terbentang luas di bumi Blambangan ini, kekayaan budaya juga menjadi ciri khas populer yang dikembangkan oleh maysarakatnya. Suku Osing atau Wong Osing merupakan penduduk asli banyuwangi sebagai masyarakat yang hidup pada Pemerintahan Kerajaan Blambangan. Suku Osing atau juga sering disebut sebagai Wong Blambangan yang tersisa yang merupakan keturunan Kerajaan Hindu Blambangan ini berbeda dari masyarakat lainnya (Jawa, Madura dan Bali), bila dilihat dari adat-istiadat, budaya maupun bahasanya. Suku Osing juga bias disebut sebagai sisa peninggalan penduduk dari adanya Kerajaan Majapahit yang masik melestarikan kepercayaan mereka.
Pada masa Pemerintahan Belanda Banyuwangi dikenal sebagai daerah Tapal Kuda yang merupakan daerah dengan budaya yang beragam seperti adanya percampuran Jawa dengan Bali. Dalam ranah yang  lebih luas, Wong Osing merupakan salah satu bagian sub-etnis Jawa. Dalam peta wilayah kebudayaan Jawa, Osing merupakan bagian wilayah Sabrang Wetan yang berkembang di daerah ujung timur pulau Jawa. Pada masa kekuasaan kolonial usaha Belanda tidak berhasil membuat masyarakat suku Osing meninggalkan kepercayaanya dengan mudah. Karena pada dasarnya suku Osing selalu memegang teguh adat-istiadat setempat sejak Zaman Majapahit.
Sebagai suku masyarakat dari sisa Kerajaan Majapahit Suku Osing tidak lahir begitu saja sebagai sisa dari kepercayaan Majapahit yang sudah runtuh. Mereka lahir akibat dari keadaan sosial dan lingkungan sekitar.  Dalam hal yang sebenarnya tidak mudah untuk mempertahankan tardisi dan keaslian sebuah tradisi pada masa globalisasi. Melalui sejarah masyarakat suku Osing belajar untuk selalu menjunjung nilai-nilai luhur sukunya. Hal ini nampaknya telah diterapkan sejak zaman kekuasaan Majapahit maupun Blambangan.
Proses perkembagan kebudayaan yang terjadi pada masyarakat Osing tidaklah terjadi secara tiba-tiba. Namun melalui proses yang sangat panjang yang didukung oleh sifat masyarakat Osing itu sendiri yang sangat terbuka bagi masuknya unsur-unsur kebudayaan lain yang mewarnai dinamika kebudayaan mereka. Masyarakat Osing dikenal dengan masyarakat yang kaya akan kebudayaan. Kebudayaan yang mereka ciptakan ini masih dijaga dengan baik dan masih dilestarikan, namun ada beberapa yang hampir punah. Kesenian pada masyarakat Osing merupakan produk adat yang mempunyai relasi dengan nilai religi. Kesenian bagi masyarakat Osing merupakan jiwa bagi masyarakat Osing dan masih menjaga adat serta pemahaman mereka terhadap pentingnya kesenian sebagai ungkapan rasa syukur.
Adapun kesenian dan pertunjukan ritual masyarakat Osing, yiatu Seblang (upacara adat dalam bentuk sebuah tarian ritual), Gandrung (seni pertunjukan berupa tari pergaulan yang lebih dominan terhadap unsur hiburan), Mocoan Pacul Gowang (seni membaca naskah lontar berbahasa jawa kuno dan jawa pertengahan berisi riwayat Nabi Yusuf), Kebo-keboan (upacara adat dalam pertanian performance pelaku adat seperti kerbau), Barong Kemiren (tarian ritual ddengan topeng biantang buas), Praburara (teater tradisional berupa dramatari), eEndhong-endhongan (upacara ritual dalam memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan sarana ribuat telor), Ider bumu (upacara beekellling desa denagn membaut batas/pagar sebagai symbol dalam menghalau bencana), Patrol (alat musik yang terbuat dari bambu tuujuannya untuk patrol), Puter Kayun (tradisi berkeliling Kota dengan dokar pada saat Lebaran Ketupat) dan lain-lainnya. Banyaknya kesenian dan ritual Masyarakat Osing memberikan suatu gambaran betapa besarnya Kultural menjadi bagian yang tiak dapat terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Osing. Beragam upacara ritual dan seni pertunjukan sacral menjadi ruang eksperesi yang cukup memadai dalam mengaktualisasikan gagasan dan angan-angan kolektif masyarakat Osing.

2.2 Gambaran dan Perkembangan Tentang Kesenian Mocoan Pacul Gowang

Pada masa kehidupan masyarakat Blambangan ada suatu kesenian baca yang di kenal dengan sebutan “Mocoan”. Kesenian baca ini juga terdapat hampir diseluruh wilayah Indonesia seperti di daearah Jawa (selain Banyuwangi), Madura, Bali, dan daerah lainnya. Mocoan adalah kesenian atau juga bias disebut sebagai tradisi dari masyarakat Blambangan dalam pembacaan karya sastra keagamaan lama dikawasan Banyuwangi. Mocoan Banyuwangi sering disebut sepeti itu pada masa sekarang. Asal-usul kesenian atau tradisi mocoan lontar pada masyarakat Osing di kabuapten Banyuwangi tidak diketahui dengan pasti namun yang jelas sejak para wali menyebarkan Agama Islam di Banyuwangi sekitar abad ke-XVIII (18) yang merupakan sarana berdoa kepada Tuhan dengan harapan agar kehidupan seperti Nabi Yusuf yang baik, bukan hanya sebagai alat untuk menyebarkan ajaran agama Islam seiring dengan waktu Mocoan Lontar menjadi sautu kesenian dalam kehidupan masyarakat Osing yang sarat akan makna.
Kesesnia atau tradisi yang membaca Lontaran Yusuf yang berisi tentang riwayat kehidupan Nabi Yusuf mulai sejak kecil hingga dewasa yang bertahta ditanah Mesir. “Menurut Pak Purwadi menjelaskan bahwa Lontar Yusuf ini terdiri dari empat bagian penting yang bercerita tentang kehidupan Nabi Yusuf mulai tentang asmara, doa-doa, alam dan ketika Yusuf dinobatkan menjadi raja serta ketika Yusuf di penjara”. Pada Lontar Yusuf ini bila seseorang akan membaca lontar akan mendapatkan kesulitan sebab lontar tersebut memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Pasalnya tulisan pada lontar menggunakan hurup Arab, sedangkan bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa kuno. Cengkok atau lagu yang digunakan adalah tembang khas bahasa Using. Pak Purwadi menjelaskan bahwa Lontar Yusuf ini terdiri dari empat bagian penting yang bercerita tentang kehidupan Nabi Yusuf mulai tentang asmara, doa-doa, alam dan ketika Yusuf dinobatkan menjadi raja serta ketika Yusuf di penjara”. Ternyata hal yang sebernarnya yang dimaksud dengan Lontar Yusuf pada dasarnya adalah sebuah kitab beraksara Arab pegon dalam bahasa Jawa Madya. Namun, demikian, di dalamnya juga ditemukan banyak kosakata bahasa Osing. Kitab ini disalin dan turunkan dari generasi ke generasi. Dalam hal ini ada suatu yang mengherankan pencebutan nama kesenian ini dengan menggunakan sebutan “Lontor”. Lontar atau kulit sari pohon jelas memberikan suatu gambaran pada masa Hindu-Budha sebagai media tulis dalam suatu karya sastra pada masa peninggalan Kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha. Ternyata dalam kesenian Mocoan Pacul Gowang ini media bacanya tidak lagi menggunakan bahan dari daun lontar, namun diganti dengan kertas sebagai media penulisannya, tetapi penyebutan Lontor masik saja digunakan.
Lontar Yusuf atau lebih tepatnya juga disebut sebagai kitab Yusuf yang tertua di wilayah Banyuwangi disimpan oleh sebuah keluarga dalam bungkusan kain dan tidak boleh dibuka karena dipercaya bisa menimbulkan kebutaan Dengan demikian yang dibaca dan beredar di kalangan seniman mocoan sekarang ini adalah tentu saja berupa salinannya dalam sebuah kertas. Lontar Yusuf dituliskan dalam beberapa bait atau para seniman Mocoan menyebutnya dengan pupuh yang namanya mirip dengan tembang macapatan di Jawa. Ada yang terdiri empat pupuh, yaitu kasmaran, durma, pangkur, dan sinom. Ada pula yang enam pupuh, yaitu kasmaran, durma, pangkur, kusumadiya, arum-arum, dan rancagan. Perbedaan jumlah pupuh ini terjadi karena proses penyalinan yang kadang-kadang berdasar pada hapalan dan perbedaan pertimbangan pengambilan kalimat yang diringkas. Namun dalam Mocoan Pacul Gowang terdapat tambahan beberapa pupuh, yaitu mijil, kesilir, andrian, delimoan, selobok, dan kedendha. Tetapi pupuh-pupuh tambahan ini dianggap bukan bagian dari lontar dan hanya berfungsi sebagai pupuh peralihan yang mengantarkan penyajian dari mocoan yang sifatnya religius menuju mocoan yang sifatnya sebagai saran hiburan saja. Ternyata adanya suatu perbedaan jumlah salinan pupuh ini tidak mengakibatkan perbedaan dalam penyajian mocoan ketika mereka tampil bersama-sama. Kebanyakan mereka menghapal salinan beserta ding-dungnya, karena bagian ini selalu sama. Hal yang dimaksdu dengan Ding adalah konsep untuk menyebut kata-kata jawaban di akhir kalimat dalam setiap baris, sedangkan Dung adalah konsep untuk menyebut kata jawaban di akhir pupuh. Penyebutan Ding-dung ternayata memiliki suatu kaitan dengan sahut-sahutan yang dilakukan seniman dalam menyajikan lontar. Satu pupuh bisa disajikan oleh seorang saja, tapi bisa juga bergantian. Seandainya disajikan oleh seorang saja, maka yang lain hanya akan menjawab atau disebut dengan istilah ngedingi. Ngedingi dilakukan dengan melihat kata akhir dalam kalimat, tetapi bisa juga setelah kata terakhir tersebut selesai atau dalam bahasa Osing endeg-endegan. Jika ada sipembaca lontaran Yusuf lain ingin mengganti baris selanjutnya, maka ia akan menyahut kata-kata terakhir yang disajikan penyaji pertama sebelumnya. Biasanya sautan kata-kata dilakukan dengan menunjukkan suara perrbedaan ketinggian nada yang berbeda dengan penyaji pertama. Jika sudah disaup sebelum mbaca lontar sebelumnya akan mulai diam dan ganti menjadi tukang ngedingi atau bersiap menyaup bagian selanjutnya dan seterusnya.seperti ini sampai pembaca Lontaran Yusuh selesai.

Dalam hal ini ada suatu penjelasan menganai isi lontaran, meski disebut Lontar Yusuf,  ternyata sebenarnya isi lontaran juga menghimpun suatu riwayat tentang nabi-nabi yang lain, selain riwayat Nabi Yusuf, tetapi tidak menjelakan secara lebih mendalam sepertti riwayat Nabi Yusuf itu sendiri, riwayan nabi-nabi yang lain,  yaitu Nabi Sulaiman, Nabi Daud, Nabi Shaleh, dan Nabi Muhammad. Mocoan dalam anggapan masyarakat Osing jelas merupakan suatu ikhtiar untuk mengambil barakah dari kemuliaan para nabi. Diyakini dengan pembacaan ini, harapan dan keinginan bisa terkabulkan. Meski arti bahasa lontar Yusuf ini tidak dimengerti, namun oleh masyarakat Osing  kesakralannya tetap diyakini. Dalam hal itu memunculkan suatu anggapan bagi para pendengar mocoan yang sedang mengikuti kesenian tersebut kerap menitipkan benda-benda yang terkait dengan hajat mereka untuk diletakkan di bawah lontar yang akan dibaca agar terkabul harapan mereka, misalnya bedak dan sisir, ketika mereka ingin memiliki rupa yang menarik dan memesona sebagaimana Nabi Yusuf.           
Kesenian ini dimainkan oleh 7 sampai dengan 8 orang dalam satu grup yang diiringi dengan alat musik tradisional seperti kendang, biola, gong dan kluncing. Ternyata tata cara dalam kesenian Mocoan Banyuwangi ini semua teknik pelaksanaan seni baca ini sama dengan pelaksanaan Mocoan dalam bentuk aslinya, yaitu membaca dengan menggunakan irama lagu mocopat seperti Kasmaran, Arum-arum, Derma, Pangkur, dan Sinom. Kelompok kesenian ini pada awalnya dipimpin oleh seorang yang bernama Aljin sehingga masyarakat menyebut juga kesenian ini dengan kesenian Aljin. Dalam pembacan Lontaran Yusuf tidak semua orang mampu untuk membaca Kesenian Mocoan Pacul Gowang hanya lelaki usia di atas 50 tahun yang mampu membaca Lontar Yusuf.dan mereka juga memiliki  salinan Lontar Yusuf yang ditulls oleh Pak Senari. Selama ini Kesenian Mocoan Lontar memang banyak dilakukan dalam pembacaannya oleh kaum lelaki saja. Padahal, tidak ada aturan yang melarang kaum perempuan untuk ikut mocoan. Menurut Purwadi, hal ini mungkin disebabkan oleh kesibukan kaum perempuan dalam mengurus rumah tangga.  
“Menurut cerita dari Pak Purwadi, Pak Senari adalah Laki-laki yang berusia 70 tahun lebih yang saat itu sebagai orang satu-satunya yang menyalin Lontaran Yusuf. Sejak ia belum menikah Pak Senari sudah menggeluti kegiatan menyallin Lontar Yusuf yang dipesen oleh seseorang. Pak Senari dalam menyalin kiranya memerlukan waktu lebih dari sebulan dari lembar perlembar dari Lotar Yusuf yang asli yang menggunakan spidol warna hitam dann merah. Sebelum melakukan penyalinan lontar ada sautu kegiatan selameten kecil-kecilnya seperti mempersiapkan bubur merah, penyalinan dari Loontar Yusuf yang asli ini merupakan suatu tradisi turun-temurun yang sudah lama adanya, namun saat ini Pak Senari sudah meninggal duia pada tahun 2014, dua tahun yang lalu”.
Pada masyarakat Osing Kesenian Mocoan ini biasanya digelar sebagai bagian dari acara ruwatan, bersih desa, atau petik laut, serta juga pada acara-acara ritual peralihan (tujuh bulanan, kelahiran, khitanan, pernikahan). Pembacaannya berlangsung semalam suntuk hingga lontar Yusuf itu selesai. Namun, Keseniagn Moocoan juga sering menjadi seni pertunjukan yang digelar di luar konteks ritualnya sehingga kebanyakan bentuknya telah dipadatkan dan dipersingkat dalam sebuah pentas Kesenian Mocoan Pacul Gowang. Menurut Bapak Purwadi, tradisi ini dilestarikan sebagai sarana berdoa kepada Yang Maha Kuasa. Masyarakat berharap kisah-kisah dalam lontar terjadi dalam kehidupan nyata mereka. Dalam hajatan perkawinan, misalnya, pasangan pengantin berharap bisa rukun dan bahagia hingga akhir hayat sebagaimana keluarga Nabi Yusuf.”dan biila seorang anak lahir, wajah dan tabiatnya diharapkan seperti Nabi Yusuf. Orang tua yang mengkhitankan anaknya berharap si anak tidak merasakan sakit sebagaimana para istri raja tidak menyadari jari-jari mereka teriris pisau lantaran terpana saat menatap Nabi Yusuf yang rupawan.“Menurut Nampi yang berusia 60 tahun, seorang nenek asal Desa Kemiren, menceritakan, Kesenian Mocoan Lontar dulunya sering ditanggap ketika seorang pengantin perempuan akan meratakan gigi (sisir). Tujuannya, supaya si pengantin tidak merasakan ngilu. " Hal ini menjadikan Mocoan Lontar jadi sebuah penghibur".
Banyak orang yang asing terhadap Kesenian Mocoan Lontar, sebab di masa sekarang peminat acara keseniaan ini sangat jarang. Ratusan tahun lalu Mocoan Lontar merupakan sebuah kegiatan banyak yang dilakukan oleh Masyarakat Osing. Namun, masih ada sejumlah masyarakat Osing yang ternyata masik peduli terhadap keberadaan Kesenian Mocoan Lontar. Hanya bebrapa orang inilah yang berusaha menghidupkan kembali tradisi atau kesenia yang sudah mulai punah ini. Salah satu orang tersebut adalah Bapak Adi Purwadi sebagai ketua kelompok Mocoan Lontar yang berasal dari Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi. Pada Desa Kemiren, kelompok mocoan dibagi menjadi dua, yaitu kelompok Reboan dan Saptuan. Menurut Purwadi, sebenarnya banyak daerah yang memiliki kelompok mocoan lontar, misalnya Desa Tamansuruh, Desa Kampung Anyar, Desa Glagah, Desa Bakungan, termasuk wilayah Kecamatan Songgon. Namun, basis mocoan lontar terbanyak memang di Kecamatan Glagah”.
Selama ini tradisi yang sudah berusia ratusan tahun ini nyaris tanpa regenerasi hanya laki-laki yang sudah berusia 50 tahun keatas yang mampu membaca Lontaran Yusuf ini, selaian itu “menurut Pak Purwadi penyebab lainnya adalah kegiatan ini murni kesenian bukan untuk mendaptkan materi. Hal ini menimbulkan suatu keresahan bagi Pak Adi Purwadi. “Menurut Ketua Kelompok Mocoan lontar, bapak purwadi mengatakan kersahan ini akhirnya di tindak lanjutu dengan upaya mencari pemuda yang berminat untuk belajar membaca Lontar Yusuf untuk meneruskan kesenian Mocoan ini. Mula-mula ia berrsama anggota kelompoknya baru mendaptkan satu pemuda yang sanggup untuk belajar membaca Lontar Yusuf ini. Usahanya bersama anggota kelompoknya tetap berlanjut dengan mencari pemuda lain yang akan mau belajar membaca Lontar Yusuf ini, pencariannya dilakukan dari kabar berita masyarakat jika ada pemuda yang mau belajar dan melestarikan Kesenian Mocoan ini. Pencarian ini membuahkan hasil Bapak Purwadi bersama anggota kelompoknya. Ada 16 pemuda berusia sekitar 20-30 tahun yang berhasil dikumpulkan. Kemudian mereka semua diajarkan cara membaca Lontar Yusuf dalam 8 kali pertemuan” Bapak Purwadi menargetkan selama delapan hari pertemuan dalam latihan ini, pppara peserta sudah mampu untuk membaca Lontar Yusuf tersebut. Pelatiahn itu biasanya dimulai dari jam 19:00 – 21:00, para pesertanya tidak di tarik biaya sama sekali, mereka yang berminat tinggal dating ke rumah Bapak Purwadi. Namun, peminat dari masyarakat masik sangat terbatass.
Selama pelatihan tersebut, peserta yang sedang belajar cara membaca lontar tidak hanya diajarkan cara membaca lontaprnya. Tetapi para peserta juga diajarkan cara melantunkannya menggunakan cengkok bahasa Using. Ternyata dari tenaga pengajarnya adalah warga-warga senior di Desa Kemiren yang memang sudah memiliki kemampuan membaca lontar. Mereka dengan sukarela datang membagikan ilmu membaca lontar setiap hari. Menurut Purwadi, tenaga pengajar ini tidak memperoleh bayaran atau imbalan meraka mengajar dengan penuh keikhlasan hanya berusaha agar Kesenian Mocoan Lontar ini dapat terus lestari yang akan diteruskan oleh generasi mudanya. Menurut penuturan seorang pengajar mocoan lontar, yaitu Sutaman pria berusia 60 tahun, mengaku sudah mampu membaca lontar sejak 25 tahun lalu. Sutaman mengaku ikut kelompok mocoan lontar Reboan di Kemiren.
Dia merasa terpanggil karena selama ini memang senang membaca lontar. Hal sama senada juga denagan yang diungkapkan oleh Awang Setya Kiaji, anggota termuda kelompok mocoan lontar di Desa Kemiren. Siswa kelas 1 SMA itu sudah mampu menguasai seni membaca Mocoan Lontar. Anak yang sudah berumur enam belas tahun itu sudah belajar Mocoan Lontar sejak tahun 2009 yang mengajarinya adalah ayahnya sendiri, yaitu Bapak Adi Purwadi. Awalnya Awang memulai melakukan kegiatan itu karena sekedar coba-coba membaca lontar milik ayahnya, karena senang, akhirnya dia semangat untuk belajar. Dia mengungkapkan, membaca Mocoan Lontar itu awalnya sangat sulit. Namun, ketika sudah terbiasa, dia justru merasa senang.
“Bapak Adi Purwadi mengungkapkan upaya melestarikan Kesenian Mocoan Lontar agar tidak punah juga dengan cara pelatihan-pelatihan baik di masyarakat Desa Kemiren maupun di sekolah-sekolah yang ada di Kabupaten Banyuwangi, seperti halnya di di SMA Negeri 1 Glagah dijadikan sebagai muatan Lokal dalam mata pelajaran di sekolah tersebut. Ada pula peranan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banyuwangi juga mempunyai program dalam melestarikan Kesenian Mocoan Lontar, yaitu dengan cara bekerja sama dengan masyarakat Desa Kemiren untuk mengadakan pelatihan “Mocoan Lontar”, pelatihan tersebut dilakukan supaya tetap terjaga kelestarian Kesenian tersebut.
Keberadaan dari adaanya Kesenian Mocoan Pacul Gowang media dalam pembacaan adalah Lontar Yusuf yang berisi tentang riwayat hidup Nabi Yusuf dan riwayat para nabi lainya memberikan suatu pendidkan kepada para senimannya dan masyarakat yang ikut serta dalam menyaksikan kesenian tersebut. Adanya suatu nilai-nilai yang terkandung dalam Kesenian Mocoan Lontar. Moral adalah suatu ajaran baik dan buruk maupun kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita. Nilai moral yang terkandung dalam Kesenian Mocoan Lontar,  yaitu nilai kerukunan, nilai gotong royong, nilai keadilan, nilai persatuan dan nilai religi. Hal ini yang menjadikan Bapak Adi Purwadi bersama kelompok Kesenian Mocoan Pacul Gowang bersama dengan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banyuwangi bekerja sama dengan masyarakat Desa Kemiren untuk tetap berupaya melestarikan Kesenian Mocoan Pacul Gowang agar nilai-nilai yang terkandung dalam kesenian tersebut tidak akan pudar bagi generasi penerus..

BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kebudayaan adalah suatu hasil cipta dari pola pkir dan perbuatan tingkah laku  manusia yang awalnya bermula dari sebuah kebiasan berubah menjadi sebuah tradisi pada kehidupan manusia itu sendiri. Dalam sebuah Kebudayaan memiliki tujuh unsur yang setiap unsur saling berkaitan yang tidak bias lepas dari adanya suatu kebudayaan yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Salah satu Ketujuh Unsur Kebudayaan itu adalah Kesenian, kesenian merupakan saran dalam mengungkapkan diri pada jiwa manusia dalam bentuk sebuah tarian, lagu-lagu, dan karya sastra. Secara teoritis Provensi Jawa Timur dibagi menjadi sepuluuh wilayah kebudayan, salah satunya adalah Kebudayaan Osing (Using). Kebudayaan Osing adalah kebudayaan yang berasal  pada daerah Kabupaten Banyuwangi yang mayorritas masyarakatnya adalah orang-orang Osing sebagai penduduk asli di Banyuwangi yang sejak zaman Kerajaan Blambangan sudah mulai hidup menetap daerah tersebut. Orang Osing juga bias disebut sebagai penduduk peninggalan dari Zaman Kerajaan Majapahit yang juga masik melestarikan kepercayaan mereka.
Proses perkembangan pada Masyarakat Osing dan Kebudayaan Osing tidak terjadi secara tiba-tba. Namun meraka lahir dari adanya keadaan sosial dan lingkungan sekitar mereka pada masa Kerajaan Majapahit dan melalui proses yang sangat panjang yang disertai dengan sifat orang Osing yang terbuka terhadap masuknya unusr-unsur kebudayaan lain salah satu adalah Kebudayaan Islam. Hal ini yang menjadikan masyarakat Osing memiliki keanekaragaman kebudayaan yang mewarnai kehidupan merekan. Salah satu dari adanya keanekaragamann kebudayaan tersebut adalah Kesenian Mocoan Pacul Gowang. Kesenian Mocoan Pacul Gowang merupakan kesenian yang sudah ada sejak awalnya masuknya pengaruh agama Islam di Banyuwangi yang diperkirakan pada abad ke XVIII. Kesenian yang awalnya sebagai sebuah media dalam penyebaran agama Islam di Kehidupan masyarakat Blambangan yang dulunya di dominasi oleh ajaran Hindu-Budha. Seiring dengan waktu kemudian berkembang menjadi sebuah Tradisi dalam masyarakat Osing yang tidak dapat terpisahkan yang memiliki nilai-nilai moral yang mendidik mereka.
Kesenian membaca Lontar Yusuf yang berisi tentang riwayat kehiidupan Nabi Yusuf sampai dia meninggal dan kisah hidup para nabi-nabi lainya. Lontar menggunakan hurup Arab, sedangkan bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa kuno, lambat laut penggunakan Lontar diganti dengan menggunakan kertas yang telah disalin oleh Bapak Senari sebagi laki-laki yang sudah berusia 70 tahun lebih yang dulu mampu untuk melakukan kegiatan menyalin tulisan Lontar Yusuf yang asli. Namun, diusia semakain tua kini Bapak Seanri sudah meninggal, hanya meninggalkan hasil salinannya untuk generassi penerusnya. Kesenian yang dimainakan tujuh sampai delapan orang dalam satu grub yang diringi dengan alat music tradisinal seperti kendang, biola, gong dan kluncing. Kesenian yang didoominasi oleh pembaca Lontar Yusuf oleh laki-laki yang berusia di atas 50 tahun. Pada masa sekarang sebagian besar massik asing terhadap  kesenian ini yang dulunya kesenian membaca Lontar Yusuf ini merupakan kegiatan yang sering dilakukan oleh masyarakat Osing, lambat laut mulai pudar terhadap pengaruuh dari aadanya glabalisasi. Namun, segelintir masyarakat Osing masik tetap berniat untuk melestarikan kesenian ini, salah satu adalah Bapak adi Purwadi bersama anggota seniman Mocoan Lontar Yusuf berupaya agar kebudayaan ini tetap lestari. Dalam upaya mencari pemuda yang berminat untuk belajar cara menbaca Lontar Yusuf dan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banyuwangi bekerja sama dengan masyarakat Desa Kemiren untuk tetap berupaya melestarikan Kesenian Mocoan Pacul Gowang.

3.2 Saran

                .Berdasarkan pembahasan di atas Kesenian Mocoan Pacul Gowang dapat disarankan agar dilakukan penelitian lebih lanjut agar masyarakat lebih mengerti tentang kandungan makna yang terdapat dalam setiap tradisi yang dimiliki oleh Kabupaten Banyuwangi dan cara menjaga, melestarikan tradisi daerah secara berkelanjutan supaya tidak tergilas oleh arus globalisasi. Bagi para seniman seharusnya di berikan suatu penghargaan bagi mereka yang berusah untuk melastarikan kesenian tersebut dari Badan Pariwisata Banyuwangi, serta sering di adakan acara pentas Kesenian Mocoan Pacul Gowang di daerah Kabuapten Jember agar kesenian ini tetap lestari, bukan hanya di jadikan muatan lokal dalam mata pelajaran di SMA, tetapi dengan adanya pentas berbagai kalangan dapat mengenal kesenian tersebut dan nantik ada rasa tertarik terhadap kesenian tersebut yang kemudian ada suatu keinginan untuk belajar Kesenian Mocoan Pacul Gowang dalam cara membaca Lontar Yusuf dan para pengajar seharusnya diberi banyaran agar bersemangat untuk mengajari para peserta yang sedang belajar cara membaca Lontar Yusuf

Daftar Pustaka

Buku
Anoegrajekti, Rr. Novi, LAPORAN PENELITIAN (Struktur Cerita Prosa Rakyat Using Banyuwangi), Jember: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Universitas Jember,LEMBAGA PENELITIAN, 1997.
                            Sastra dan Budaya Lokal Masyarakat Osing, Jember:Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Jember, 2009.
Sugiyanto, dkk, Laporan Penelitian (Perkembangan Seni Gandrung Banyuwangi), Jember: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Universitas Jember, Pusat Penelitian, 1992.
Saputro, Heru. S. P, LAPORAN PENELITIAN (Legenda Osing Banyuwangi suatu Analisis Struktural), Jember: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Universitas Jember,LEMBAGA PENELITIAN,1998.
                          FOLKLOR USING (Hakikat, Ritual, dan Lokaliisi),Jember:Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Jember, 2009.
Internet
Ensiklopedia NU, “Moco.an Pacul Goang”(online), http//www.GoBanyuwangi.Com, diunduh pada 14 Mei 2016.
Tursino, “Mocoan Lontar” (online), http//www. f0ry0uguys.blogspot.com, diunduh pada 15 Mei 2016
TEMPO, “Tradisi Mocoan Lontar Telah Terwarisi”. (online), http//www. Tempo.com, diunduh pada 15 Mei 2016
Kompas.com, “Kesenian Aljin(online), http//www.Kompas.com, diunduh pada 15 Mei 2016.
Wawancara
Adi Purwafi, Banyuwangi, 21 Mei 2016.
Awang Setya Kiaji, Banyuwangi, 29 Mei 2016.
Nenek Nampi, Banyuwangi, 21 Mei 2016.
Sutaman, Banyuwangi, 21 Mei 2016.




Lampiran


SURAT KETERANGAN


Dengan ini kami:
Nama            : Adi Purwafi
Pekerjaan      : Ketua Kelompok Kesenian Mocoan Pacul Gowang
Alamat                      : Desa Kemiren, Kecamtan Glagah, Kabupaten Banyuwangi
Umur             : 52 Tahun
Menerangkan bahwa saudara:
Nama                        : Andityawarman Dwi Putra
Alamat          : Perum Bumi Tegal Besar

Telah melakukan wawancara dan penelitian berkaitan dengan Tugas Kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesiai yang berjudul “…
Demikian surat keterangan ini kami buat dengan sebenarnya.


Situbondo, 16 Agustus 2011
Responden


Adi Purwafi


SURAT KETERANGAN


Dengan ini kami:
Nama            : Awang Setya Kiaji
Pekerjaan      : Siswa Kelas Satu SMA Negeri 1 Glagah (Seniman Kesenian Mocoan
                         Pacul Gowang Terrmuda)
Alamat                      : Desa Kemiren, Kecamtan Glagah, Kabupaten Banyuwangi
Umur             : 17 Tahun
Menerangkan bahwa saudara:
Nama                        : Andityawarman Dwi Putra
Alamat          : Perum Bumi Tegal Besar

Telah melakukan wawancara dan penelitian berkaitan dengan Tugas Kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesiai yang berjudul “…
Demikian surat keterangan ini kami buat dengan sebenarnya.


Situbondo, 16 Agustus 2011
Responden


Awang Setya Kiaji


SURAT KETERANGAN


Dengan ini kami:
Nama            : Sutaman
Pekerjaan      : Pengajar Peserta dalam Membaca Kesenian Macoan Pacul Gowang
Alamat                      : Desa Kemiren, Kecamtan Glagah, Kabupaten Banyuwangi
Umur             : 60 Tahun
Menerangkan bahwa saudara:
Nama                        : Andityawarman Dwi Putra
Alamat          : Perum Bumi Tegal Besar

Telah melakukan wawancara dan penelitian berkaitan dengan Tugas Kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesiai yang berjudul “…
Demikian surat keterangan ini kami buat dengan sebenarnya.


Situbondo, 16 Agustus 2011
Responden


Sutaman


SURAT KETERANGAN


Dengan ini kami:
Nama            : Nenek Nampi
Pekerjaan      : Masyarakat Desa Kemiren
Alamat                      : Desa Kemiren, Kecamtan Glagah, Kabupaten Banyuwangi
Umur             : 60 Tahun
Menerangkan bahwa saudara:
Nama                        : Andityawarman Dwi Putra
Alamat          : Perum Bumi Tegal Besar

Telah melakukan wawancara dan penelitian berkaitan dengan Tugas Kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesiai yang berjudul “…
Demikian surat keterangan ini kami buat dengan sebenarnya.


Situbondo, 16 Agustus 2011
Responden


Nenek Nampi





FOTO


Para Narasumber
                                               
         
Nenek Nampi, Masyarakat Desa Kemiren                               Sutaman
Foto Koloksi Pribadi                            Pengajar Peserta dalamMembaca Kesenian     Macoan Pacul Gowang

           Adi Purwafi
               Ketua Kelompok Kesenian Mocoan Pacul Gowang
                Foto Koloksi Pribadi
Lontar Yusuf yang telah di salin oleh Pak Senari pada sebuah Lembar Kertas
                                                          Sumber :TEMPO, “Tradisi Mocoan Lontar Telah Terwarisi”. (online), http//www. Tempo.com, diunduh pada 15 Mei 2016                                                                                                                                                                                                                      Salah satu contoh “mocoan lontar yusuf”  yaitu:
·         Menggunakan tembang sinom                          
wonten sih ceritaniro
bagindo musekun nenggeh
sapucapaning yang manon
ing luhur tursineng
            uni ananedeng yang widi
            ayunaningali wau
            ing siro sang yang manon
            muwahayananireng
tur ing luhur adi
tursino mengkono
                                    Lontar Yusuf
 Koleksi Pribadi di Foto langsung Lontar Yusuf yang  disimpan oleh Bapak Purwadi.
Kegiatan Kesenain Mocoan Pacul Gowang

Pembacaan Lontar Yusuf yang di lakaukan oleh Laki-laki yang berusia di atas 50 Tahun
                                                            Mulai jam 19:00 – 21:00.

Sumber : TEMPO, “Tradisi Mocoan Lontar Telah Terwarisi”. (online), http//www. Tempo.com, diunduh pada 15 Mei 2016