KEBUDAYAAN
MASYARAKAT OSING DALAM KESENIAN MOCOAN PACUL GOWANG BANYUWANGI
MAKALAH
Makalah
diajukan guna melengkapi tugas dalam mata kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia
dan memenuhi salah syarat untuk menyelesaikan Ujian Akhir Semester IV (UAS)
Oleh
ANDITYAWARMAN
DWI PUTRA
140110301045
JURUSAN
SEJARAH
FAKULTAS
ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS
JEMBER
2016
KATA PENGANTAR
Puji
syukur ke hadirat Allah Swt. atas segala rahmat dan karunia-Nya dapat
menyelesaikan tugas “Sejarah Kebudayaan Indonesia“yang berjudul : “Kebudayaan Masyarakat Osing dalam Kesenian Mocoan
Pacul Gowang Banyuwangi.’
Kesesnia
atau tradisi yang membaca Lontaran Yusuf yang berisi tentang riwayat kehidupan
Nabi Yusuf mulai sejak kecil hingga dewasa yang bertahta ditanah Mesir. Asal-usul kesenian atau tradisi mocoan lontar pada masyarakat Osing
di kabuapten Banyuwangi tidak
diketahui dengan pasti namun yang jelas sejak para wali menyebarkan Agama Islam
di Banyuwangi sekitar abad ke-XVIII (18) yang merupakan
sarana berdoa kepada Tuhan dengan harapan agar kehidupan seperti Nabi Yusuf
yang baik, bukan hanya sebagai alat untuk menyebarkan ajaran agama Islam
seiring dengan waktu Mocoan Lontar menjadi sautu kesenian dalam kehidupan
masyarakat Osing yang sarat akan makna.
Penulis
sudah berusaha menyusun tugas kuliah ini sebaik mungkin, akan tetapi penulis
menyadari kesalahan dan keaflaan, Tugas ini masih jauh dari kesempurnaan.
Namun,
berkat arahan, bimbingan, dan bantuan dari segala pihak sehingga tugas ini
dapat diselesaikan. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada
semua pihak yang telah memberi arahan dan bimbingan.
Semoga
tugas ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, dan bagi pembaca umumnya
Jember,
28 Mei 2016
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
kebudayaan adalah
keseluruhan ide-ide, tindakan, dan hasil karya manusia yang suatu proses
hubungan manusia dengan alam dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik
jasmaniah maupun rohaniah. Kebudayaan itu sendiri mempunyai
unsur unsur yang bersifat universal. Usnsur-usnur Kebudayaan itu terdiri dari Ketujuh
Unsur kebudayaan, yaitu Religi, Bahasa, Kesenian, Kemasyarakatan atau
Organisasi Sosial, Mata Pencaharian, Pengetahuan, dan Teknologi. Berdasarkan
ketujuan unsur Kebudayaan tersebut dalam penulisan makalah ini akan lebih
membahas yang berkaitan denagn kesenian. Kesenian merupakan sarana yang digunakan untuk mengekspresikan
rasa keindahan dari dalam jiwa manusia.
Secara
teoritis wilayah Provensi Jawa Timut
dibagi dalam sepuluh Wilayah Kebuayaan tentu saja dari kesepuluh kebudayaan
memilik wilayah yang berbeda-beda dan setiap kebudayaan memiliki keunikan
tersendiri. Sepuluh Wilayah Kebudayan tersebut , yaitu Jawa Mataram, Jawa
Panaragan, Arek, Samin (sedulur sikep), Tengger, Osing(Using), Padhalungan,
Madura PUlau, Madura Bawen, dan Madura Kangean.
Berdasarkan Sepuluh Wilayah Kebudayan
tersebut dalam Penulisan tugas Sejarah Kebudataan Indonesia akan lebih
membahasan tentang kebudayaan Osing(Using). Kebudayaan Masyrakat Osing yang
tinggal di Kabupaten Banyuwangi sebagai masyarakat Using sangat kuat dalam memegang tradisi dan masyarakat Using
dikenal dengan masyarakat yang kaya akan kebudayaan kesenian khas Banyuwangi
seperti gandrung, aljin, angklung caruk, kendang kempul dan seni drama khas
Banyuwangi yang disebut janger Banyuwangi (damarwulan). Hal menjadi pembahasan
mendalam dalam mengungkapkan Khas Kebudayaan Masyarakat Osing yang bedasarkan
kebudayaan yang ada lebih tertujuh pada Ksesnian Mocoan Pacul
Gowang.
1.1.1 Rumusan Masalah
Perumusan Masalah pada makalah
ini untuk memberi arahan dalam kegiatan pembuatan makalah yang dilakukan akan
dipaparkan berdasarkan hal-hal yang akan menjadi pembahasan dari Kesinian
Mocoan Pacul Gowang Pertanyaan yang hendak dikaji dalam Makalah ini adalah:
1.Bagaiman Sejarah
Kebudayaan Osing ?
2.Bagimana Gambaran dan
Perkembangan Tentang Kesenian Mocoan Pacul Gowang?
1.2 Tujuan
Tujuan dalam penulisan
makalah ini sebagai tugas dalam Mata Kuliah Semester IV, yaitu Sejarah
Kebudayaan Indonesia, sekaligus sebagai penerapan dalam ilmu mata kuliah
terrsebut yang bukan hanya menganai teori dalam sautu kebudayaan yang membahas
menganai Tujuh Unsur dalam suatu Kebudayaan. Namun dengan adanya suatu
penerapan dalam mata kuliah ini agar bertujuan untuk memahami dan bertujuan menambah
pemahaman yang lebih mendalam tentang unsur-unsur kebudayaan dalam sautu
masyarakat yang terutama berkaitan dengan Kebudayaan Masyarakat Osing secara
mendalam terhadap Kesenian Mocoan
Pacul Gowang (seni membaca naskah lontar berbahasa jawa kuno dan jawa
pertengahan berisi riwayat Nabi Yusuf).
Tujuan
penulisan Makalah ini bukan hanya memberi pemahaman secara mendalam tentang Kesenian
Mocoan Pacul Gowang bagi si penulis, tetapi
juga bertujuan untuk memberikan sautu sumbangan Ilmu Pengetahuan yang membahas
menganai Kebudayaan Osing bagi pihak-pihak yang nantiknya membutuhkan tulisan
ini sebagai bahan yang dibaca untuk memperoleh gambaran terhadap Kesenian
Mocoan Pacul Gowang yang sangat berkaitan erat
dengan masyarakat Osing yang menciptakan Kesenian tersebut yang hal ini memberikan
sautu penjelasan terdapat karakteristik masyarakat Osing dari adanya Kesenian
Mocoan Pacul Gowang.
1.2 Manfaat
Dalam
penulisan makalah sudah barang tentu sekecil apa pun ada harapan manfaatnya yang
dapat diambil dalam isi pembahasan makalah ini. Adapun manfaatnya dalam
penulisan makalah ini sebagai berikut: Memberikan tambahan Ilmu Pengathuan bagi
sipenulis yang terutama tentang wawasan Sejarah Kebudayaan Indonesia. Dapat
menambah Khasanah Ilmu pengetahuan tentang Kebudayaan Osing dan nilai-nlai
moral yang terkandung dalam kebudayaan tersebut. Bagi Jurusan Sejarah, Fakultas
Ilmu Budaya, Universitas jember akan meberikan suatu tambahan wawasan bagi
Mahasiswa dan Dosen bila membaca penulisan makalah ini. Bagi Pemerintahan
Kabupaten Banyuwangi dan Badan Pariwisata Banyuwangi berserta pada Seniman Mocoan Pacul Gowang dan Masyarakat Desa
Kemiren, kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi dari penulisan makalah dapat
memberikan manfaat dalam upaya melestarikan dan mengembangkan Kesenian Mocoan
Pacul Gowang bagi generasi yang akan mendatang.
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Kebudyaan Osing dari Kabupaten Banyuwangi
Kebudayaan
Osing tidak akan lepas dengan suatu subyek yang menghasilkan kebudayaan iitu
sendiri adalah orang Osing yang mendiami Kabupaten Banyuwangi sebagai pelaku
yang memiliki kebudayaan itu pasti hal ini memiliki sejarah tersediri yang
diawali dengan sejarah Orang Osing yang awalnya menetap ditanah Banyuwangi. Sejarah suku Osing diawali pada akhir masa
kekuasaan Majapahit sekitar tahun 1478 M. Setelah kejatuhannya, orang-orang
Majapahit mengungsi ke beberapa tempat, yaitu lereng Gunung Bromo (Suku
Tengger), Blambangan (Suku Osing) dan Bali. Kerajaan Blambangan, yang didirikan
oleh masyarakat Osing, adalah kerajaan terakhir yang bercorak Hindu
yang sangat berkaitann denagn Kerajaan Blambangan.
Sejarah berdirinya Kabupaten Banyuwangi tak
bisa lepas dari Kerajaan Blambangan karena Blambangan awal mulal dari adanya
Banyuwangi itu sendiri. Bahkan Blambangan merupakan kerajaan yang paling lama
bertahan terhadap serangan Kerajaan Mataram dan VOC. Bukan hanya keindahan alam
yang terbentang luas di bumi Blambangan ini, kekayaan budaya juga menjadi ciri
khas populer yang dikembangkan oleh maysarakatnya. Suku Osing atau Wong Osing
merupakan penduduk asli banyuwangi sebagai masyarakat yang
hidup pada Pemerintahan Kerajaan Blambangan. Suku Osing atau juga sering
disebut sebagai Wong Blambangan yang tersisa yang merupakan keturunan Kerajaan
Hindu Blambangan ini
berbeda dari masyarakat lainnya (Jawa, Madura dan Bali), bila dilihat dari
adat-istiadat, budaya maupun bahasanya. Suku Osing juga bias disebut sebagai
sisa peninggalan penduduk dari adanya Kerajaan Majapahit yang masik
melestarikan kepercayaan mereka.
Pada masa Pemerintahan Belanda Banyuwangi dikenal
sebagai daerah Tapal Kuda yang merupakan daerah dengan budaya yang beragam
seperti adanya percampuran Jawa dengan Bali. Dalam ranah yang lebih luas, Wong Osing merupakan salah satu
bagian sub-etnis Jawa. Dalam peta wilayah kebudayaan Jawa, Osing merupakan bagian
wilayah Sabrang Wetan yang berkembang di daerah ujung timur pulau Jawa. Pada
masa kekuasaan kolonial usaha Belanda tidak berhasil membuat masyarakat suku
Osing meninggalkan kepercayaanya dengan mudah. Karena pada dasarnya suku Osing
selalu memegang teguh adat-istiadat setempat sejak Zaman Majapahit.
Sebagai suku masyarakat dari sisa Kerajaan
Majapahit Suku Osing tidak lahir begitu saja sebagai sisa dari kepercayaan
Majapahit yang sudah runtuh. Mereka lahir akibat dari keadaan sosial dan lingkungan
sekitar. Dalam hal yang sebenarnya tidak
mudah untuk mempertahankan tardisi dan keaslian sebuah tradisi pada masa
globalisasi. Melalui sejarah masyarakat suku Osing belajar untuk selalu
menjunjung nilai-nilai luhur sukunya. Hal ini nampaknya telah diterapkan sejak
zaman kekuasaan Majapahit maupun Blambangan.
Proses
perkembagan kebudayaan yang terjadi pada masyarakat Osing tidaklah terjadi
secara tiba-tiba. Namun melalui proses yang sangat panjang yang didukung oleh
sifat masyarakat Osing itu sendiri yang sangat terbuka bagi masuknya
unsur-unsur kebudayaan lain yang mewarnai dinamika kebudayaan mereka. Masyarakat Osing dikenal dengan masyarakat
yang kaya akan kebudayaan. Kebudayaan yang mereka ciptakan ini masih dijaga
dengan baik dan masih dilestarikan, namun ada beberapa yang hampir punah.
Kesenian pada masyarakat Osing merupakan produk adat yang mempunyai relasi
dengan nilai religi. Kesenian bagi masyarakat Osing merupakan jiwa bagi
masyarakat Osing dan masih menjaga adat serta pemahaman mereka terhadap
pentingnya kesenian sebagai ungkapan rasa syukur.
Adapun kesenian dan pertunjukan ritual
masyarakat Osing, yiatu Seblang (upacara adat dalam bentuk sebuah tarian
ritual), Gandrung (seni pertunjukan berupa tari pergaulan yang lebih dominan terhadap
unsur hiburan), Mocoan Pacul Gowang (seni membaca naskah lontar berbahasa jawa
kuno dan jawa pertengahan berisi riwayat Nabi Yusuf), Kebo-keboan (upacara adat
dalam pertanian performance pelaku adat seperti kerbau), Barong Kemiren (tarian
ritual ddengan topeng biantang buas), Praburara (teater tradisional berupa dramatari),
eEndhong-endhongan (upacara ritual dalam memperingati kelahiran Nabi Muhammad
SAW dengan sarana ribuat telor), Ider bumu (upacara beekellling desa denagn
membaut batas/pagar sebagai symbol dalam menghalau bencana), Patrol (alat musik
yang terbuat dari bambu tuujuannya untuk patrol), Puter Kayun (tradisi
berkeliling Kota dengan dokar pada saat Lebaran Ketupat) dan lain-lainnya.
Banyaknya kesenian dan ritual Masyarakat Osing memberikan suatu gambaran betapa
besarnya Kultural menjadi bagian yang tiak dapat terpisahkan dalam kehidupan
masyarakat Osing. Beragam upacara ritual dan seni pertunjukan sacral menjadi
ruang eksperesi yang cukup memadai dalam mengaktualisasikan gagasan dan angan-angan
kolektif masyarakat Osing.
2.2 Gambaran dan Perkembangan Tentang Kesenian Mocoan Pacul Gowang
Pada
masa kehidupan masyarakat Blambangan ada suatu kesenian baca yang di kenal
dengan sebutan “Mocoan”. Kesenian baca ini juga terdapat hampir diseluruh
wilayah Indonesia seperti di daearah Jawa (selain Banyuwangi), Madura, Bali,
dan daerah lainnya. Mocoan adalah kesenian atau juga bias disebut sebagai
tradisi dari masyarakat Blambangan dalam pembacaan karya sastra keagamaan lama
dikawasan Banyuwangi. Mocoan Banyuwangi sering disebut sepeti itu pada masa
sekarang. Asal-usul
kesenian atau tradisi mocoan
lontar
pada masyarakat Osing di kabuapten Banyuwangi tidak
diketahui dengan pasti namun yang jelas sejak para wali menyebarkan Agama Islam
di Banyuwangi sekitar abad ke-XVIII (18) yang merupakan
sarana berdoa kepada Tuhan dengan harapan agar kehidupan seperti Nabi Yusuf
yang baik, bukan hanya sebagai alat untuk menyebarkan ajaran agama Islam seiring
dengan waktu Mocoan Lontar menjadi sautu kesenian dalam kehidupan masyarakat
Osing yang sarat akan makna.
Kesesnia
atau tradisi yang membaca Lontaran Yusuf yang berisi tentang riwayat kehidupan
Nabi Yusuf mulai sejak kecil hingga dewasa yang bertahta ditanah Mesir.
“Menurut Pak Purwadi menjelaskan bahwa Lontar Yusuf ini terdiri dari empat
bagian penting yang bercerita tentang kehidupan Nabi Yusuf mulai tentang
asmara, doa-doa, alam dan ketika Yusuf dinobatkan menjadi raja serta ketika
Yusuf di penjara”. Pada Lontar Yusuf ini bila seseorang akan membaca lontar akan mendapatkan
kesulitan sebab lontar tersebut memiliki tingkat kesulitan yang tinggi.
Pasalnya tulisan pada lontar menggunakan hurup Arab, sedangkan bahasa yang
digunakan adalah bahasa Jawa kuno. Cengkok atau lagu yang digunakan adalah
tembang khas bahasa Using. “Pak Purwadi
menjelaskan bahwa Lontar Yusuf ini terdiri dari empat bagian penting yang
bercerita tentang kehidupan Nabi Yusuf mulai tentang asmara, doa-doa, alam dan
ketika Yusuf dinobatkan menjadi raja serta ketika Yusuf di penjara”. Ternyata
hal yang sebernarnya yang dimaksud dengan Lontar Yusuf pada dasarnya adalah
sebuah kitab beraksara Arab pegon dalam bahasa Jawa Madya. Namun, demikian, di
dalamnya juga ditemukan banyak kosakata bahasa Osing. Kitab ini disalin dan
turunkan dari generasi ke generasi. Dalam hal ini ada suatu yang mengherankan
pencebutan nama kesenian ini dengan menggunakan sebutan “Lontor”. Lontar atau
kulit sari pohon jelas memberikan suatu gambaran pada masa Hindu-Budha sebagai
media tulis dalam suatu karya sastra pada masa peninggalan Kerajaan-kerajaan
yang bercorak Hindu-Budha. Ternyata dalam kesenian Mocoan Pacul Gowang ini
media bacanya tidak lagi menggunakan bahan dari daun lontar, namun diganti
dengan kertas sebagai media penulisannya, tetapi penyebutan Lontor masik saja
digunakan.
Lontar Yusuf atau lebih tepatnya juga disebut
sebagai kitab Yusuf yang tertua di wilayah Banyuwangi disimpan oleh sebuah
keluarga dalam bungkusan kain dan tidak boleh dibuka karena dipercaya bisa
menimbulkan kebutaan Dengan demikian yang dibaca dan beredar di kalangan
seniman mocoan sekarang ini adalah tentu saja berupa salinannya dalam sebuah
kertas. Lontar Yusuf dituliskan dalam beberapa bait atau para seniman Mocoan
menyebutnya dengan pupuh yang namanya mirip dengan tembang macapatan di Jawa.
Ada yang terdiri empat pupuh, yaitu kasmaran, durma, pangkur, dan sinom. Ada
pula yang enam pupuh, yaitu kasmaran, durma, pangkur, kusumadiya, arum-arum,
dan rancagan. Perbedaan jumlah pupuh ini terjadi karena proses penyalinan yang
kadang-kadang berdasar pada hapalan dan perbedaan pertimbangan pengambilan
kalimat yang diringkas. Namun dalam Mocoan Pacul Gowang terdapat tambahan
beberapa pupuh, yaitu mijil, kesilir, andrian, delimoan, selobok, dan kedendha.
Tetapi pupuh-pupuh tambahan ini dianggap bukan bagian dari lontar dan hanya
berfungsi sebagai pupuh peralihan yang mengantarkan penyajian dari mocoan yang
sifatnya religius menuju mocoan yang sifatnya sebagai saran hiburan saja.
Ternyata adanya suatu perbedaan jumlah salinan pupuh ini tidak mengakibatkan
perbedaan dalam penyajian mocoan ketika mereka tampil bersama-sama. Kebanyakan
mereka menghapal salinan beserta ding-dungnya, karena bagian ini selalu sama.
Hal yang dimaksdu dengan Ding adalah konsep untuk menyebut kata-kata jawaban di
akhir kalimat dalam setiap baris, sedangkan Dung adalah konsep untuk menyebut
kata jawaban di akhir pupuh. Penyebutan Ding-dung ternayata memiliki suatu
kaitan dengan sahut-sahutan yang dilakukan seniman dalam menyajikan lontar.
Satu pupuh bisa disajikan oleh seorang saja, tapi bisa juga bergantian.
Seandainya disajikan oleh seorang saja, maka yang lain hanya akan menjawab atau
disebut dengan istilah ngedingi. Ngedingi dilakukan dengan melihat kata akhir
dalam kalimat, tetapi bisa juga setelah kata terakhir tersebut selesai atau
dalam bahasa Osing endeg-endegan. Jika ada sipembaca lontaran Yusuf lain ingin
mengganti baris selanjutnya, maka ia akan menyahut kata-kata terakhir yang
disajikan penyaji pertama sebelumnya. Biasanya sautan kata-kata dilakukan
dengan menunjukkan suara perrbedaan ketinggian nada yang berbeda dengan penyaji
pertama. Jika sudah disaup sebelum mbaca lontar sebelumnya akan mulai diam dan
ganti menjadi tukang ngedingi atau bersiap menyaup bagian selanjutnya dan
seterusnya.seperti ini sampai pembaca Lontaran Yusuh selesai.
Dalam hal ini ada suatu penjelasan menganai
isi lontaran, meski disebut Lontar Yusuf,
ternyata sebenarnya isi lontaran juga menghimpun suatu riwayat tentang
nabi-nabi yang lain, selain riwayat Nabi Yusuf, tetapi tidak menjelakan secara lebih
mendalam sepertti riwayat Nabi Yusuf itu sendiri, riwayan nabi-nabi yang
lain, yaitu Nabi Sulaiman, Nabi Daud,
Nabi Shaleh, dan Nabi Muhammad. Mocoan dalam anggapan masyarakat Osing jelas
merupakan suatu ikhtiar untuk mengambil barakah dari kemuliaan para nabi.
Diyakini dengan pembacaan ini, harapan dan keinginan bisa terkabulkan. Meski
arti bahasa lontar Yusuf ini tidak dimengerti, namun oleh masyarakat Osing kesakralannya tetap diyakini. Dalam hal itu
memunculkan suatu anggapan bagi para pendengar mocoan yang sedang mengikuti
kesenian tersebut kerap menitipkan benda-benda yang terkait dengan hajat mereka
untuk diletakkan di bawah lontar yang akan dibaca agar terkabul harapan mereka,
misalnya bedak dan sisir, ketika mereka ingin memiliki rupa yang menarik dan
memesona sebagaimana Nabi Yusuf.
Kesenian ini
dimainkan oleh 7 sampai dengan 8 orang dalam satu grup yang diiringi dengan
alat musik tradisional seperti kendang, biola, gong dan kluncing. Ternyata tata
cara dalam kesenian Mocoan Banyuwangi ini semua teknik pelaksanaan seni baca
ini sama dengan pelaksanaan Mocoan dalam bentuk aslinya, yaitu membaca dengan
menggunakan irama lagu mocopat seperti Kasmaran, Arum-arum, Derma, Pangkur, dan
Sinom. Kelompok kesenian ini pada awalnya dipimpin oleh seorang yang bernama
Aljin sehingga masyarakat menyebut juga kesenian ini dengan kesenian Aljin. Dalam pembacan Lontaran
Yusuf tidak semua orang mampu untuk membaca Kesenian Mocoan Pacul Gowang hanya
lelaki usia di atas 50 tahun yang mampu membaca Lontar Yusuf.dan mereka juga
memiliki salinan Lontar Yusuf yang
ditulls oleh Pak Senari. Selama ini Kesenian Mocoan
Lontar memang banyak dilakukan dalam pembacaannya oleh kaum lelaki saja.
Padahal, tidak ada aturan yang melarang kaum perempuan untuk ikut mocoan.
Menurut Purwadi, hal ini mungkin disebabkan oleh kesibukan kaum perempuan dalam
mengurus rumah tangga.
“Menurut cerita
dari Pak Purwadi, Pak Senari adalah Laki-laki yang berusia 70 tahun lebih yang
saat itu sebagai orang satu-satunya yang menyalin Lontaran Yusuf. Sejak ia
belum menikah Pak Senari sudah menggeluti kegiatan menyallin Lontar Yusuf yang
dipesen oleh seseorang. Pak Senari dalam menyalin kiranya memerlukan waktu
lebih dari sebulan dari lembar perlembar dari Lotar Yusuf yang asli yang
menggunakan spidol warna hitam dann merah. Sebelum melakukan penyalinan lontar
ada sautu kegiatan selameten kecil-kecilnya seperti mempersiapkan bubur merah,
penyalinan dari Loontar Yusuf yang asli ini merupakan suatu tradisi turun-temurun
yang sudah lama adanya, namun saat ini Pak Senari sudah meninggal duia pada
tahun 2014, dua tahun yang lalu”.
Pada
masyarakat Osing Kesenian Mocoan ini biasanya digelar sebagai bagian dari acara
ruwatan, bersih desa, atau petik laut, serta juga pada acara-acara ritual
peralihan (tujuh bulanan, kelahiran, khitanan, pernikahan). Pembacaannya
berlangsung semalam suntuk hingga lontar Yusuf itu selesai. Namun, Keseniagn Moocoan juga
sering menjadi seni pertunjukan yang digelar di luar konteks ritualnya sehingga
kebanyakan bentuknya telah dipadatkan dan dipersingkat dalam sebuah pentas
Kesenian Mocoan Pacul Gowang. “Menurut Bapak Purwadi, tradisi ini dilestarikan sebagai sarana berdoa
kepada Yang Maha Kuasa. Masyarakat berharap kisah-kisah dalam lontar terjadi
dalam kehidupan nyata mereka. Dalam hajatan perkawinan, misalnya, pasangan
pengantin berharap bisa rukun dan bahagia hingga akhir hayat sebagaimana
keluarga Nabi Yusuf.”dan biila seorang anak lahir, wajah dan tabiatnya diharapkan
seperti Nabi Yusuf. Orang tua yang mengkhitankan anaknya berharap si anak tidak
merasakan sakit sebagaimana para istri raja tidak menyadari jari-jari mereka
teriris pisau lantaran terpana saat menatap Nabi Yusuf yang rupawan”.“Menurut Nampi yang berusia 60 tahun,
seorang nenek asal Desa Kemiren, menceritakan, Kesenian Mocoan Lontar dulunya
sering ditanggap ketika seorang pengantin perempuan akan meratakan gigi
(sisir). Tujuannya, supaya si pengantin tidak merasakan ngilu. " Hal ini
menjadikan Mocoan Lontar jadi sebuah penghibur".
Banyak orang yang asing terhadap Kesenian
Mocoan Lontar, sebab di masa sekarang peminat acara keseniaan ini sangat
jarang. Ratusan tahun lalu Mocoan Lontar merupakan sebuah kegiatan banyak yang
dilakukan oleh Masyarakat Osing. Namun,
masih ada sejumlah masyarakat Osing yang ternyata masik peduli terhadap keberadaan Kesenian Mocoan Lontar. Hanya bebrapa orang inilah yang berusaha menghidupkan kembali tradisi
atau kesenia yang sudah mulai
punah ini. Salah satu orang tersebut adalah Bapak Adi
Purwadi sebagai ketua kelompok Mocoan Lontar yang berasal dari Desa Kemiren, Kecamatan
Glagah, Kabupaten Banyuwangi. Pada
Desa Kemiren, kelompok mocoan dibagi menjadi dua, yaitu kelompok Reboan dan
Saptuan. “Menurut
Purwadi, sebenarnya banyak daerah yang memiliki kelompok mocoan lontar,
misalnya Desa Tamansuruh, Desa Kampung Anyar, Desa Glagah, Desa Bakungan,
termasuk wilayah Kecamatan Songgon. Namun, basis mocoan lontar terbanyak memang
di Kecamatan Glagah”.
Selama
ini tradisi yang sudah berusia ratusan tahun ini nyaris tanpa regenerasi hanya
laki-laki yang sudah berusia 50 tahun keatas yang mampu membaca Lontaran Yusuf
ini, selaian itu “menurut Pak Purwadi penyebab lainnya adalah kegiatan ini
murni kesenian bukan untuk mendaptkan materi. Hal ini menimbulkan suatu
keresahan bagi Pak Adi Purwadi. “Menurut Ketua Kelompok Mocoan lontar, bapak
purwadi mengatakan kersahan ini akhirnya di tindak lanjutu dengan upaya mencari
pemuda yang berminat untuk belajar membaca Lontar Yusuf untuk meneruskan kesenian
Mocoan ini. Mula-mula ia berrsama anggota kelompoknya baru mendaptkan satu
pemuda yang sanggup untuk belajar membaca Lontar Yusuf ini. Usahanya bersama
anggota kelompoknya tetap berlanjut dengan mencari pemuda lain yang akan mau
belajar membaca Lontar Yusuf ini, pencariannya dilakukan dari kabar berita
masyarakat jika ada pemuda yang mau belajar dan melestarikan Kesenian Mocoan
ini. Pencarian ini membuahkan hasil Bapak Purwadi bersama anggota kelompoknya.
Ada 16 pemuda berusia sekitar 20-30 tahun yang berhasil dikumpulkan. Kemudian
mereka semua diajarkan cara membaca Lontar Yusuf dalam 8 kali pertemuan” Bapak
Purwadi menargetkan selama delapan hari pertemuan dalam latihan ini, pppara
peserta sudah mampu untuk membaca Lontar Yusuf tersebut. Pelatiahn itu biasanya
dimulai dari jam 19:00 – 21:00, para pesertanya tidak di tarik biaya sama
sekali, mereka yang berminat tinggal dating ke rumah Bapak Purwadi. Namun,
peminat dari masyarakat masik sangat terbatass.
Selama pelatihan tersebut, peserta
yang sedang belajar cara membaca lontar tidak hanya diajarkan cara membaca lontaprnya. Tetapi para peserta juga diajarkan cara melantunkannya menggunakan
cengkok bahasa Using. Ternyata dari tenaga pengajarnya adalah warga-warga senior di Desa
Kemiren yang memang sudah memiliki kemampuan membaca lontar. Mereka dengan sukarela
datang membagikan ilmu membaca lontar setiap hari. Menurut Purwadi, tenaga
pengajar ini tidak memperoleh bayaran atau imbalan
meraka mengajar dengan penuh keikhlasan hanya berusaha agar Kesenian Mocoan
Lontar ini dapat terus lestari yang akan diteruskan oleh generasi mudanya. Menurut
penuturan seorang pengajar
mocoan lontar, yaitu
Sutaman pria berusia 60 tahun, mengaku sudah mampu membaca lontar sejak 25
tahun lalu. Sutaman mengaku ikut kelompok mocoan lontar Reboan di Kemiren.
Dia merasa terpanggil karena selama ini memang senang
membaca lontar. Hal sama
senada juga denagan yang diungkapkan oleh Awang Setya Kiaji, anggota termuda
kelompok mocoan lontar di Desa Kemiren. Siswa kelas 1
SMA itu sudah mampu menguasai seni
membaca Mocoan Lontar. Anak yang sudah berumur enam belas tahun itu sudah belajar Mocoan Lontar sejak tahun 2009 yang mengajarinya adalah ayahnya
sendiri, yaitu Bapak Adi Purwadi. Awalnya
Awang memulai melakukan kegiatan itu karena sekedar coba-coba membaca lontar
milik ayahnya, karena senang, akhirnya dia semangat untuk belajar. Dia
mengungkapkan, membaca Mocoan Lontar itu awalnya sangat sulit. Namun, ketika
sudah terbiasa, dia justru merasa senang.
“Bapak
Adi Purwadi mengungkapkan upaya
melestarikan Kesenian Mocoan Lontar
agar tidak punah juga dengan cara pelatihan-pelatihan baik di masyarakat Desa
Kemiren maupun di sekolah-sekolah yang ada di Kabupaten Banyuwangi,
seperti halnya di di SMA Negeri
1 Glagah
dijadikan sebagai muatan Lokal dalam mata pelajaran di sekolah tersebut. Ada pula peranan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banyuwangi juga mempunyai program
dalam melestarikan Kesenian Mocoan Lontar, yaitu dengan cara bekerja sama dengan masyarakat
Desa Kemiren untuk mengadakan pelatihan “Mocoan Lontar”, pelatihan tersebut dilakukan supaya tetap terjaga
kelestarian Kesenian
tersebut”.
Keberadaan
dari adaanya Kesenian Mocoan Pacul Gowang media dalam pembacaan adalah Lontar
Yusuf yang berisi tentang riwayat hidup Nabi Yusuf dan riwayat para nabi lainya
memberikan suatu pendidkan kepada para senimannya dan masyarakat yang ikut
serta dalam menyaksikan kesenian tersebut. Adanya suatu nilai-nilai yang terkandung dalam Kesenian Mocoan Lontar.
Moral adalah suatu ajaran baik dan buruk maupun
kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita. Nilai moral yang terkandung
dalam Kesenian Mocoan Lontar,
yaitu nilai
kerukunan, nilai gotong royong, nilai keadilan, nilai persatuan dan nilai
religi. Hal ini yang menjadikan Bapak Adi Purwadi bersama
kelompok Kesenian Mocoan Pacul Gowang bersama dengan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banyuwangi bekerja sama dengan
masyarakat Desa Kemiren untuk tetap berupaya melestarikan
Kesenian Mocoan Pacul Gowang agar nilai-nilai yang terkandung dalam kesenian tersebut
tidak akan pudar bagi generasi penerus..
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kebudayaan
adalah suatu hasil cipta dari pola pkir dan perbuatan tingkah laku manusia yang awalnya bermula dari sebuah
kebiasan berubah menjadi sebuah tradisi pada kehidupan manusia itu sendiri. Dalam
sebuah Kebudayaan memiliki tujuh unsur yang setiap unsur saling berkaitan yang
tidak bias lepas dari adanya suatu kebudayaan yang dibuat oleh manusia itu
sendiri. Salah satu Ketujuh Unsur Kebudayaan itu adalah Kesenian, kesenian
merupakan saran dalam mengungkapkan diri pada jiwa manusia dalam bentuk sebuah
tarian, lagu-lagu, dan karya sastra. Secara teoritis Provensi Jawa Timur dibagi
menjadi sepuluuh wilayah kebudayan, salah satunya adalah Kebudayaan Osing
(Using). Kebudayaan Osing adalah kebudayaan yang berasal pada daerah Kabupaten Banyuwangi yang
mayorritas masyarakatnya adalah orang-orang Osing sebagai penduduk asli di
Banyuwangi yang sejak zaman Kerajaan Blambangan sudah mulai hidup menetap
daerah tersebut. Orang Osing juga bias disebut sebagai penduduk peninggalan
dari Zaman Kerajaan Majapahit yang juga masik melestarikan kepercayaan mereka.
Proses
perkembangan pada Masyarakat Osing dan Kebudayaan Osing tidak terjadi secara
tiba-tba. Namun meraka lahir dari adanya keadaan sosial dan lingkungan sekitar
mereka pada masa Kerajaan Majapahit dan melalui proses yang sangat panjang yang
disertai dengan sifat orang Osing yang terbuka terhadap masuknya unusr-unsur
kebudayaan lain salah satu adalah Kebudayaan Islam. Hal ini yang menjadikan
masyarakat Osing memiliki keanekaragaman kebudayaan yang mewarnai kehidupan
merekan. Salah satu dari adanya keanekaragamann kebudayaan tersebut adalah
Kesenian Mocoan Pacul Gowang. Kesenian Mocoan Pacul Gowang merupakan kesenian
yang sudah ada sejak awalnya masuknya pengaruh agama Islam di Banyuwangi yang diperkirakan
pada abad ke XVIII. Kesenian yang awalnya sebagai sebuah media dalam penyebaran
agama Islam di Kehidupan masyarakat Blambangan yang dulunya di dominasi oleh
ajaran Hindu-Budha. Seiring dengan waktu kemudian berkembang menjadi sebuah
Tradisi dalam masyarakat Osing yang tidak dapat terpisahkan yang memiliki
nilai-nilai moral yang mendidik mereka.
Kesenian
membaca Lontar Yusuf yang berisi tentang riwayat kehiidupan Nabi Yusuf sampai
dia meninggal dan kisah hidup para nabi-nabi lainya. Lontar menggunakan hurup
Arab, sedangkan bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa kuno, lambat laut
penggunakan Lontar diganti dengan menggunakan kertas yang telah disalin oleh
Bapak Senari sebagi laki-laki yang sudah berusia 70 tahun lebih yang dulu mampu
untuk melakukan kegiatan menyalin tulisan Lontar Yusuf yang asli. Namun, diusia
semakain tua kini Bapak Seanri sudah meninggal, hanya meninggalkan hasil
salinannya untuk generassi penerusnya. Kesenian yang dimainakan tujuh sampai
delapan orang dalam satu grub yang diringi dengan alat music tradisinal seperti
kendang, biola, gong dan kluncing. Kesenian yang didoominasi oleh pembaca
Lontar Yusuf oleh laki-laki yang berusia di atas 50 tahun. Pada masa sekarang
sebagian besar massik asing terhadap
kesenian ini yang dulunya kesenian membaca Lontar Yusuf ini merupakan
kegiatan yang sering dilakukan oleh masyarakat Osing, lambat laut mulai pudar
terhadap pengaruuh dari aadanya glabalisasi. Namun, segelintir masyarakat Osing
masik tetap berniat untuk melestarikan kesenian ini, salah satu adalah Bapak
adi Purwadi bersama anggota seniman Mocoan Lontar Yusuf berupaya agar
kebudayaan ini tetap lestari. Dalam upaya mencari pemuda yang berminat untuk
belajar cara menbaca Lontar Yusuf dan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banyuwangi bekerja sama dengan
masyarakat Desa Kemiren untuk tetap berupaya melestarikan
Kesenian Mocoan Pacul Gowang.
3.2 Saran
.Berdasarkan
pembahasan di atas Kesenian Mocoan Pacul Gowang dapat disarankan agar dilakukan penelitian lebih lanjut agar masyarakat lebih mengerti tentang kandungan makna yang
terdapat dalam setiap tradisi yang dimiliki oleh Kabupaten Banyuwangi dan cara
menjaga, melestarikan tradisi daerah secara berkelanjutan supaya tidak tergilas
oleh arus globalisasi. Bagi para seniman seharusnya di berikan
suatu penghargaan bagi mereka yang berusah untuk melastarikan kesenian tersebut
dari Badan Pariwisata Banyuwangi, serta sering di adakan acara pentas Kesenian
Mocoan Pacul Gowang di daerah Kabuapten Jember agar kesenian ini tetap lestari,
bukan hanya di jadikan muatan lokal dalam mata pelajaran di SMA, tetapi dengan
adanya pentas berbagai kalangan dapat mengenal kesenian tersebut dan nantik ada
rasa tertarik terhadap kesenian tersebut yang kemudian ada suatu keinginan
untuk belajar Kesenian Mocoan Pacul Gowang dalam cara membaca Lontar Yusuf dan
para pengajar seharusnya diberi banyaran agar bersemangat untuk mengajari para
peserta yang sedang belajar cara membaca Lontar Yusuf
Daftar Pustaka
Buku
Anoegrajekti,
Rr. Novi, LAPORAN PENELITIAN (Struktur
Cerita Prosa Rakyat Using Banyuwangi), Jember: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI, Universitas Jember,LEMBAGA PENELITIAN, 1997.
Sugiyanto,
dkk, Laporan Penelitian (Perkembangan
Seni Gandrung Banyuwangi), Jember: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI,
Universitas Jember, Pusat Penelitian, 1992.
Saputro,
Heru. S. P, LAPORAN PENELITIAN (Legenda
Osing Banyuwangi suatu Analisis Struktural), Jember: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan RI, Universitas Jember,LEMBAGA PENELITIAN,1998.
Internet
Ensiklopedia NU, “Moco.an Pacul Goang”(online),
http//www.GoBanyuwangi.Com, diunduh pada 14 Mei 2016.
Tursino, “Mocoan Lontar” (online), http//www.
f0ry0uguys.blogspot.com, diunduh pada 15 Mei 2016
TEMPO,
“Tradisi Mocoan Lontar Telah Terwarisi”. (online), http//www. Tempo.com,
diunduh pada 15 Mei 2016
Kompas.com, “Kesenian
Aljin”(online),
http//www.Kompas.com, diunduh pada 15 Mei 2016.
Wawancara
Adi Purwafi,
Banyuwangi, 21 Mei 2016.
Awang Setya Kiaji,
Banyuwangi, 29 Mei 2016.
Nenek Nampi,
Banyuwangi, 21 Mei 2016.
Sutaman,
Banyuwangi, 21 Mei 2016.
Lampiran
SURAT KETERANGAN
Dengan ini kami:
Nama : Adi Purwafi
Pekerjaan : Ketua Kelompok Kesenian Mocoan Pacul
Gowang
Alamat : Desa Kemiren, Kecamtan Glagah,
Kabupaten Banyuwangi
Umur : 52 Tahun
Menerangkan bahwa saudara:
Nama : Andityawarman Dwi Putra
Alamat : Perum Bumi Tegal Besar
Telah melakukan wawancara dan
penelitian berkaitan dengan Tugas Kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesiai yang
berjudul “…
Demikian surat keterangan ini
kami buat dengan sebenarnya.
Situbondo,
16 Agustus 2011
Responden
Adi Purwafi
SURAT KETERANGAN
Dengan ini kami:
Nama : Awang Setya Kiaji
Pekerjaan : Siswa Kelas Satu SMA Negeri 1 Glagah (Seniman Kesenian
Mocoan
Pacul Gowang Terrmuda)
Alamat : Desa Kemiren, Kecamtan
Glagah, Kabupaten Banyuwangi
Umur : 17 Tahun
Menerangkan bahwa saudara:
Nama : Andityawarman Dwi Putra
Alamat : Perum Bumi Tegal Besar
Telah melakukan wawancara dan
penelitian berkaitan dengan Tugas Kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesiai yang
berjudul “…
Demikian surat keterangan ini
kami buat dengan sebenarnya.
Situbondo,
16 Agustus 2011
Responden
Awang Setya Kiaji
SURAT KETERANGAN
Dengan ini kami:
Nama : Sutaman
Pekerjaan : Pengajar Peserta dalam Membaca Kesenian
Macoan Pacul Gowang
Alamat : Desa Kemiren, Kecamtan
Glagah, Kabupaten Banyuwangi
Umur : 60 Tahun
Menerangkan bahwa saudara:
Nama : Andityawarman Dwi Putra
Alamat : Perum Bumi Tegal Besar
Telah melakukan wawancara dan
penelitian berkaitan dengan Tugas Kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesiai yang
berjudul “…
Demikian surat keterangan ini
kami buat dengan sebenarnya.
Situbondo,
16 Agustus 2011
Responden
Sutaman
SURAT KETERANGAN
Dengan ini kami:
Nama : Nenek Nampi
Pekerjaan : Masyarakat Desa Kemiren
Alamat : Desa Kemiren, Kecamtan
Glagah, Kabupaten Banyuwangi
Umur : 60 Tahun
Menerangkan bahwa saudara:
Nama : Andityawarman Dwi Putra
Alamat : Perum Bumi Tegal Besar
Telah melakukan wawancara dan
penelitian berkaitan dengan Tugas Kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesiai yang
berjudul “…
Demikian surat keterangan ini
kami buat dengan sebenarnya.
Situbondo,
16 Agustus 2011
Responden
Nenek Nampi
FOTO
Para
Narasumber
Nenek Nampi,
Masyarakat Desa Kemiren Sutaman
Foto Koloksi Pribadi Pengajar Peserta dalamMembaca
Kesenian Macoan Pacul Gowang
Adi Purwafi
Ketua Kelompok Kesenian Mocoan Pacul Gowang
Foto Koloksi Pribadi
Lontar Yusuf
yang telah di salin oleh Pak Senari pada sebuah Lembar Kertas
·
Menggunakan tembang sinom
wonten sih
ceritaniro
bagindo
musekun nenggeh
sapucapaning
yang manon
ing luhur
tursineng
uni ananedeng yang widi
ayunaningali wau
ing siro sang yang manon
muwahayananireng
tur ing
luhur adi
tursino mengkono
Lontar
Yusuf
Kegiatan Kesenain Mocoan Pacul
Gowang
Pembacaan Lontar Yusuf yang di
lakaukan oleh Laki-laki yang berusia di atas 50 Tahun
Mulai
jam 19:00 – 21:00.
Sumber
: TEMPO,
“Tradisi Mocoan Lontar Telah Terwarisi”. (online), http//www. Tempo.com,
diunduh pada 15 Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar